Allah Yang Mengkontekstualisasikan Diri-Nya Oleh Maryo Lawalata

Pengantar Tulisan ini bermaksud untuk menggali pemahaman masyarakat setempat mengenai Allah. Ini didasarkan bahwa Allah telah berkarya kepada orang Maluku, jauh sebelum injil diperkenalkan atau orang Maluku mengenal Kristus. Karya Allah tidak bisa dilihat secara linier, dimana Allah berkarya di Israel kemudian bangsa-bangsa lain kemudian (dalam hal ini Bangsa Eropa kemudian Maluku). Tetapi karya Allah harus dimaknai secara simultan, dimana Allah berkarya dimana-mana dan tidak pada orang, tempat atau bangsa-bangsa tertentu saja. Dalam maksud itu, saya akan mendekatinya secara dogmatis. Ini dimaksudkan agar terjadi dialog secara bertanggungjawab antara teks dan konteks, dengan menempatkannya secara sejajar guna melahirkan pikiran-pikiran yang lebih kontekstual-transformatif dan tentunya tertanggungjawab secara teologis. Dengan menjadikan Hulaliu sebagai locus kajian tulisan ini, kiranya menjadi pintu masuk bagi lahirnya gagasan-gagasan lain mengenai Allah di Bumi Seribu pulau untuk memperkaya konsep tentang Allah di GPM. Nama Allah: Upu Lanit’o Upu Lanit’o berasal dari dua kata yaitu Upu yang artinya tuan, dan lanit yang artinya langit. Harafiahnya diterjemahkan sebagai “Tuan di (atas) Langit”. Dalam pemahaman orang-orang yang mendiami wilayah Pulau Ambon, Lease dan Seram, kata upu lebih bermakna sebagai ungkapan penghormatan. Kata ini sering ditujukan kepada orang yang dianggap patut dihormati, misalnya raja yang disapa sebagai Upu Latu. Tetapi tidak jarang juga orang tua-tua di Hulaliu sering menyapa anaknya dengan Mae Upu artinya “mari tuang”. Ungkapan ini lebih bermakna mendalam dan penghargaan kepada anak sebetulnya. Istilah ini juga akan mendapat makna yang lebih tinggi ketika dikenakan untuk menggambarkan “kuasa tertinggi”, misalnya “Upu Lanit’e” atau “Tuan di (atas) Langit”. Penggunaan kata upu sangat tergantung kepada siapa istilah itu digunakan atau untuk mengungkapkan apa. Penggunaan istilah upu lanit’o rupanya ingin menggambarkan makna yang lebih tinggi bahkan untuk menggambarkan “kuasa tertinggi” itu. Di sini sangat berhubungan erat dengan cara pandang orang Hulaliu yang menganggap langit itu berada di atas, tidak dapat dijangkau, lebih tinggi dari bumi dimana mereka hidup. “Kuasa Tertinggi” sering dipandang berada pada wilayah yang “tinggi” itu. Karena itu, langit dipakai untuk mengungkapkan keberadaannya. Secara teologis, kita dapat melihat bahwa pemahaman tuan di (atas) langit atau Upu Lanit’o menunjukan pada pemahaman orang-orang yang mendiami Pulau Ambon, Lease dan Seram sebagai “tuan di atas segala tuan”, artinya pemaknaannya lebih tinggi dan sangat terhormat dari sekedar penggunaan dilekatkan pada hal-hal yang ada di bawah atau di bumi. Kemudian pemahamannya menjadi “Tuhan di Langit”, yang lebih bermakna Tuan yang Mulia, yang sangat Terhormat, Sang Junjungan atau di atas segala-galanya yang ada di bumi ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Upu Lanit’o sama dengan Tuhan dalam agama Kristen? Jika kita mengacu pada pikiran Taylor yang meneliti agama primitif, maka jawabnya “ya’. Baiknya penulis mengacu pada Alkitab sebagai panduan dogmatis. Teks Alkitab, khususnya PL memperlihatkan bagaimana Allah yang mengkontekstualisasikan diri-Nya tampak dalam hal penggunaan sebutan atau nama bagi Allah. Dalam teks-teks PL, kita bisa berjumpa dengan nama-nama Allah seperti Elohim, El-Shaddai, El-Olam, atau El-Berit. Ternyata dalam penyelidikan terhadap agama bangsa-bangsa Kanaan dan sekitarnya yang menjadi konteks keagamaan bangsa Israel, menunjukan bahwa nama El yang dikenakan kepada Allah adalah nama dewa yang menjadi pantheon (dewan para dewa) dalam agama-agama kanaan. Sebagai kepala pantheon, El dihormati sebagai “yang maha tinggi” (Elyon), “yang mahakuasa” (Hasyaddai) dan “yang mahakekal” (Ha’olam). Hal ini mengindikasikan bahwa penyebutan nama Allah pun turut lahir dan dibentuk oleh konteks dimana agama Israel itu berkembang. Gelar-gelar dari agama Kanaan kemudian diambilalih dan digunakan untuk menyebut Allah yang telah menyatakan diri-Nya pada para leluhur Israel, yaitu Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Tentu dalam proses penyebutan itu, para penulis PL sangat berhati-hati dan kritis dalam membahasakan Allah mereka, sebagaimana penggambaran yang lazim dalam agama-agama Kanaan. Kepada sifat dan sebutan Allah yang negatif dan merendahkan martabat keilahian Allah dibuang oleh teologi PL, sebaliknya sifat-sifat kemuliaan dan kesucian (misalnya: pencipta, pemelihara, raja, dan bapa seluruh umat manusia) serta karakter-karakter yang menunjuk martabat ketuhanan El (mahakuasa, makasuci, mahatinggi, mahamulia, mahabijaksana) dipertahankan untuk memberi kesaksian tentang Allah Israel. Pendasaran Alkitabiah ini kiranya dapat menjadi pintu masuk untuk memberi kesimpulan yang sama dengan Taylor bahwa Allah yang disembah oleh orang Kristen itu sama dengan Upu Lanit’o yang disembah oleh orang Hulaliu. Ini adalah konsekuensi dogmatis, dimana Allah sendirilah yang berkenan membuat diri-Nya dikenal oleh manusia dan memperkenankan manusia memanggil-Nya dengan sebutan dan nama yang mengandung hakikat-Nya sebagai Allah. Hal terpenting yang mesti diingat adalah penyimpulan ini bukan berarti menunjuk pada nama diri Allah, melainkan lebih merupakan “julukan” atau “gelar kehormatan” yang memperlihatkan sikap hormat dan tunduk dari manusia kepada Allah. Dan biasanya “nama Allah” itu selalu berhubungan dengan konteks atau budaya dimana Allah mengkontekstualisasikan diri-Nya kepada manusia. Hal inipun dapat diperkuat lewat pengakuan GPM yang mengaku bahwa jauh sebelum Allah dalam Yesus Kristus diperkenalkan kepada orang Maluku, Allah telah lebih dulu memperkenalkan diri-Nya pada masa agama suku melalui beragam identitas kultur dan nama Allah itu sendiri, seperti Upu Lanite, Up Lera, Upu Ume, Duad Lervuan, Ratu, dll. Selama penggambaran nama Allah berdasarkan identitas kultural itu, tidak merendahkan keilahian Allah dan bersifat negatif, orang Hulaliu (Maluku pada umumnya) dapat menggunakannya untuk menggambarkan Allah yang tidak dapat dikekang dan dikurung oleh keterbatasan konteks manusia tertentu. Ini akan menjadi kekayaan kekristenan di Maluku. Hemat penulis, secara teologis usaha untuk mendialogkan kekristenan (Injil) dengan adat di Hulaliu memerlukan suatu pertautan tematis. Penggalian konsep supreme being atau bagi orang Hulaliu disebut sebagai Upu Lanit’o, maka menempatkan Allah sebagai substansi tertinggi juga merupakan jawaban logis dalam kosmologi orang Hulaliu. Sebab pemahaman orang Hulaliu mengenai kedudukan tete nene moyang sebagai perwujudan Upu Lanit’o juga signifikan dengan konsep Allah dalam kekristenan. Sebab Allah sebagai pencipta semesta ini, Ia berkuasa atasnya, tanpa terkecuali. Karena itu, roh tertinggi dibalik Upu Semesta tersebut adalah Allah sendiri atau ‘kuasa tertinggi” yang dalam pemahaman orang Hulaliu sebagai Upu Lanit’o. Identitas budaya mengenai Tuhan dalam pandangan orang Hulaliu di atas adalah media kebudayaan yang digunakan untuk mengkomunikasikan Tuhan itu sendiri. Pemahaman ini sekaligus merupakan kritik terhadap konsep ‘theistik” dari kekristenan Hulaliu (umumnya di Maluku) yang sering disalahpahamkan. Maksudnya adalah kita sering menuduh dalam kekristenan Hulaliu (bahkan Maluku pada umumnya) dengan menempatkan realitas ketuhanan yang dimengerti dalam konsep “tete nene moyang”. Sikap ini adalah keliru dan salah, hemat penulis sikap ini merupakan suatu sikap prejudice yang muncul sebagai kecurigaan misiologis yang terlalu besar, tanpa memahami totalitas worldview kekristenan di Maluku sendiri sebagai identitas kultural. Sebetulnya realitas ketuhanan dijumpai dalam terminologi budaya orang Hulaliu mengenai Tuhan, dalam cara membahasa setempat. TENEMO: Allah yang Mengkontekstualisasi Diri-Nya Allah bukanlah Allah yang jauh dan tersembunyi (transenden) saja, melainkan sekaligus melainkan sekaligus Allah yang dekat dengan manusia (imanen). Allah sendirilah yang mengkontekstualisasikan diri-Nya kepada manusia secara antropomorfis (meminjam istilah Mawene). Fenomena inilah yang memungkinkan manusia dapat mengalami Allah secara langsung dalam konteks kehidupan dan pengalaman hidup yang nyata. Bagi orang Hulaliu mengalami Allah secara antropomorfis adalah perjumpaan mereka dengan tete nene moyang. Perjumpaan yang dimaksudkan adalah melalui tete nene moyang, orang Hulaliu merasakan bahwa “Kuasa Tertinggi” atau “Allah” itu menjadi benar-benar hidup dan menyertai keseharian mereka. Dengan demikian Allah menjadi Allah yang dapat secara konkret dialami oleh orang Hulaliu dalam dunia yang empiris. Mereka percaya bahwa Upu Lanit’o menyatakan dirinya lewat tete nene moyang mereka. Bukti penyertaan itu nampak dalam pasawari (doa adat) yang mereka sampaikan dalam acara-acara adat. Kita bisa memperhatikan bentuk pasawari berikut ini : Pasawari Untuk Cakalele, Pada Acara Resmi Negeri: Upu Lanit’o Palamai Upu’a Lei Amakakalo Yasi Kuru Eke Tapele Tine Yasi Mala’ira Kura Upu Ana’a Pakoso Meu Eru, Pamaru Mamola Patan Nala Epuna Wajah Upu Lanit’o Ya Papau Ite Lo’o Oka … Artinya: Ya Tuhan yang ada di Langit Tuhan mau memberikan ijin kepada datuk leluhur kita yang ada di alam baka Mau turun di bumi ini Mau bergembira dengan semua anak cucu di negeri ini (haturessy rakanyawa) Yang tajam ditumpulkan Besipun menjadi lombo (lunak) Badanpun menjadi kebal Tuhan di surga mau menjaga dan melindungi semua anak cucu ini. Ungkapan doa di atas, memperlihatkan beberapa hal, pertama, orang Hulaliu tidak mengajukan doanya langsung kepada tete nene moyang (leluhur), tetapi kepada Tuhan yang ada di Langit (Upu Lanit’o). Artinya tete nene moyang bukanlah sasaran doa mereka. Implikasi teologis darinya adalah mereka tidak membangun jembatan kepercayaan diantara mereka dan Tuhannya. Posisi tete nene moyang dimengerti sebagai perwujudan kasih dan penyertaan “Tuhan yang ada di langit” itu. Makna ini sekaligus memberikan kritik teologis terhadap kekeliruan kita yang cenderung memposisikan tete nene moyang sebagai perantara, yang menjembatani kebutuhan manusia dengan Tuhan. Alhasilnya ada semacam hirarkhi kepercayaan, dimana manusia pada pasisi bawah tete nene moyang pada posisi tengah/median dan Tuhan (Upu Lanit’o) pada posisi di atas. Sistem kepercayaan orang Hulaliu memperlihatkan bahwa tidak ada tingkatan atau hirarkhi kepercayaan. Artinya tete nene moyang tidak pada posisi tengah/median, tete nene moyang inheren atau menyatu dengan hidup manusia. Tetapi keberadaan mereka tidak mampu dilihat dengan mata atau diindra. Tuhan mewujudnyatakan atau mengkontekstualisasikan diri-Nya sedemikian rupa, dengan mengambil wujud atau rupa tete nene moyang, agar orang Hulaliu benar-benar merasakan penyertaan Upu Lanit’o. Melalui tete nene moyang, Allah menjadi Allah yang kontekstual, Allah yang dekat dengan orang Hulaliu dan Allah yang transenden itu, menjadi imanen. Sepertinya perilaku beragama yang demikian memperlihatkan bahwa pengetahuan atau pengenalan akan dimensi sakral atau “kuasa tertinggi” atau yang “tidak terjangkau” itu, menjadi semakin konkrit atau nyata dalam perjumpaan dengan tete nene moyang dalam keseharian hidup orang Hulaliu.. Kedua, konsekuensi praktisnya adalah kecenderungan kepercayaan atau penyembahan kepada tete nene moyang merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Begitu kuatnya pemahaman orang Hulaliu terhadap tete nene moyang yang dapat menghukum mereka ketika melanggar adat; bahkan mampu mendatangkan berkat tatkala menjalankan adat, menjadikan tete nene moyang semakin “spesial” bagi kehidupan mereka. Hal mana yang nampak bahwa “kedekatan” itu menjadikan orang Hulaliu adakalanya menggantungkan hidup mereka pada tete nene moyang. Ketergantungan ini menurut E. B. Taylor menggambarkan corak kepercayaan orang-orang primitif yang tercermin lewat kepercayaan animisme. Menurutnya corak kepercayaan yang demikian (corak politeistik), bukanlah “penyembahan berhala” seperti yang biasanya digambarkan oleh para misionaris kita dulu, pada saat menyebarkan agama Kristen yang monoistik dan cenderung berpikir sempit. Mereka tidak menyembah tete nene moyang; mereka menyembah anima (roh) yang ada didalamnya; roh yang betul-betul sama seperti Tuhannya orang kristen . Roh inilah yang memberi hidup dan kekuatan pada tete nene moyang. Orang Hulaliu tidak menyembah tete nene moyang, mereka menyembah kepada suatu “kuasa tertinggi” yang disebut dalam konsepsi lokal sebagai Upu Lanit’o dan percaya secara nyata bahwa kehadiran roh Upu Lanit’o lewat tete nene moyang mereka. Memang kenyataannya, kedudukan tete nene moyang sepertinya mendapat tempat yang cukup penting dalam orang-orang Hulaliu. Hal ini disebabkan setiap harinya kontak atau perjumpaan lebih cenderung dilakukan dengan tete nne moyang ketimbang Upu Lanit’o. Meskipun demikian kedudukan Upu Lanit’o tetap menjadi sentral kepercayaan orang-orang Hulaliu. Hal berarti kedudukan Upu Lanit’o tidaklah impoten dalam hidup mereka, namun semua kuasa yang ada pada tete nene moyang berasal dari “Kuasa Tertinggi” atau Upu Lanit’o itu. Bersamaan dengan itu pula, orang Hulaliu juga percaya bahwa kehadiran tete nene moyang merepa terwujud dalam berbagai jenis binatang. Berbagai klan atau mata rumah memiliki simbol-simbol tersendiri olehnya binatang tersebut dianggap sakral dan tidak bisa di makan oleh kelompok klan yang ada. Perilaku ini bagi Emil Durkheim disebutnya sebagai “totemisme”. Menurutnya para pemuja totem benar-benar tidak memuja binatang yang diwujudkan tersebut, mereka melakukan penyembahan kepada “suatu kekuatan impersonal” yang ada ditiap makhluk tersebut”. Pikiran Durkheim ini menegaskan bahwa inti penyembahan itu bukan berada pada binatang tersebut, namun bertumbuh kepada “kekuatan impersonal” yang ada dibalik totem tersebut. Durkheim lebih cenderung berbicara tentang sesuatu yang disebut “prinsip totem” yang ada ditengah-tengah semua kepercayaan klan. Di balik totem adalah sebuah kekuatan impersonal yang memiliki kekuasaan besar atas kehidupan klan, baik secara fisik maupun moral. Orang-orang menghormatinya; mereka merasakan sebuah kewaijban moral untuk melaksanakan upacara-upacaranya; melalui hal itu mereka ikut merasakan ikatan yang kuat satu sama lain dan kesetiaan yang mengikat dalam komunal. Durkheim cukup membantu kita mengerti religi orang Hulaliu. Orang Hulaliu percaya bahwa “kekuatan impersonal” yang menjadi sumber dari semua bentuk totem atau bahkan tete nene moyang berasal Upu Lanit’o. Keberadaannya yang cukup jauh atau transenden, memberi ruang bagi orang Hulaliu mempersonifikasi perjumpaan mereka dengan Upu Lanit’o dalam berbagai bentuk totem. Semua ini dilakukan agar Upu Lanit’o menjadi dekat bahkan menjadi bagian hidup keseharian mereka. Kedudukan Upu Lanit’o yang transenden, tidak bisa dijangkau dan jauh, kini terwujud menjadi upu yang imanen dalam perjumpaan keseharian orang Hulaliu. Hal di atas sama dengan cerita-cerita Alkitab yang menyaksikan bagaimana Allah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya bagi umat Israel atau umat pilihan Allah. Penyataan Allah yang dengan penampakan diri (theophani) adalah karya Allah di dalam sejarah umatNya yang penuh dinamika, dimana Allah keluar dari persembunyianNya, sehingga umat Israel yakin bahwa mereka bertemu dengan Allah. Atau dalam Perjanjian Baru penyataan atau perkenalan Allah yang dengan firmanNya itu diwujudkan dalam diri Yesus Kristus. Dalam Markus 2:2 disebutkan bahwa Yesus memberitakan firman kepada orang banyak (bnd, Lukas 8:1 yang menyebutkan bahwa Yesus memberitakan Injil Kerajaan Allah, juga Luk. 11:28). Ini menunjukan Allah menjadi fokus pemberitaan Yesus dalam misi dan pelayananNya. Kesaksian penyataan dan penampakan Allah dalam Alkitab ingin menegaskan bahwa Allah ada dan berdaulat atas kehidupan manusia. Semua itu dilakukan demi menegaskan misi dan karya Allah bagi umatNya. Dalam PL sering mengungkapkan atau menggambarkan Allah secara antropromofis, misalnya Nabi Yesaya mengaku melihat Allah sebagai raja yang duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci (Yes.6.1). dalam Keluaran 15:3, Allah dipandang sebagai panglima perang atau pahlawan yang memimpin peperangan umat-Nya. atau bahkan Allah seolah-olah memiliki anggota-anggota tubuh seperti manusia; sebutan tentang tangan Tuhan (Yes.50:49), bibir Allah (Yer.30:27), mata Allah (Ulangan 11:12; 2 Tawarik 16:9). Begitu juga langgam antropopatisme, dimana Allah diberitakan dapat tertawa (Mzm.2:4), marah atau murka (Mzm.102:11), mempunyai perasaan cemburu (Kel.20:25), benci (Yes.1:14). Pertanyaan pokoknya adalah mengapa para penulis PL menggunakan langgam bahasa demikian untuk menggambarkan Allah mereka? tentang hal ini Mawene memberikan dua jawaban: pertama, karena watak dan karakter Yahweh, Allah Israel sebagai Allah yang hidup, bertindak dan selalu hadir. Penggambaran ini sangat berhubungan dengan Dasah Titah yang menyebutkan larangan untuk menyerupakan Allah dalam bentuk apapun (Kel.20:4), tetapi larangan tersebut dipahami sebagai larangan untuk menyerupakan Allah atau menyamakan Allah dalam wujud benda mati, sebagaimana pembuatan patung-patung berhala dalam kekafiran. Karena itu pengungkapan Allah yang demikian tidak bermaksud menyamakan Allah sebagai manusia, tetapi hendak mengungkapkan Allah sebagai Allah yang hidup dan bertindak secara nyata dalam sejarah. Sebagai Allah yang hidup, Ia selalu memperoleh persekutuan dengan manusia yang hidup pula. Kedua, ini menunjukan keterbatasan manusia untuk berbicara mengenai sesuatu yang “ajaib” atau “asing”, sehingga untuk menjelaskannya manusia tidak bisa pula menggunakan paradigma yang tidak dikenalnya. Karena itu, manusia berjumpa dengan Allah melalui suatu fenomena wahyu atau penyataan ilahi yang khusus untuk menerangkan pengalamannya yang luar biasa dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dipahaminya dan dalam frame of reference yang dimilikinya. Maksudnya adalah karena manusia terbatas, maka Allah berkenan menyatakan diri-Nya dan kehendak-kehendak-Nya melalui cara-cara yang dapat dimengerti oleh manusia. Puncak dari penggambaran Allah yang demikian nampak dalam kesaksian PB, yakni dalam peristiwa Yesus Kristus. Dalam peristiwa inkarnasi itu, Allah tidak sekedar diimajinasikan (dibayangkan), tetapi Ia sendiri berkenan “menjadi daging” dan “menjadi manusia” dalam diri Yesus Kristus sehingga manusia dapat melihat dan mengalami langsung kemuliaan Allah yang penuh kasih karunia itu (Yoh.1:14; band. Ibr.1:1-2). Pikiran-pikiran teologis di atas hendak menekankan bahwa sebagai Allah yang hidup, Ia tidak dapat dilukiskan dengan cara yang abstrak. Allah bukan saja Allah yang Mahakuasa, melainkan juga Allah yang Mahahadir dan Mahadekat dengan kehidupan manusia sesehari. Ia adalah Allah yang selalu menyertai umat-Nya dan yang selalu bergumul bersama-sama dengan mereka dalam kehidupan yang nyata. Inilah yang dirasakan oleh orang-orang Hulaliu pula, mengalami Allah dengan cara berjumpa dengan tete nene moyang mereka sebagai yang hidup dan bergumul dalam kenyataan keseharian hidup mereka. Kini menjadi jelas bahwa orang Hulaliu tidak menyembah berhala atau sesuatu yang sia-sia, seperti “stigma” banyak orang bahkan diperkuat dengan gaya berpikir para Misionaris Barat. Orang Hulaliu mengenal dan menyembah Allah yang hidup, Allah yang mengkontekstualisasikan diri-Nya sedemikian rupa sehingga menjadi dekat dengan orang Hulaliu, Allah yang dinamis dan bergerak dalam lintasan sejarah dan waktu (tidak dibatasi pada ruang dan waktu tertentu), Allah seperti itulah yang menjadikan orang Hulaliu tetap survive hingga saat ini. Yesus Kristus dan Tenemo: Kontekstualisasi yang Transformatif Penguraian yang telah dilakukan di atas memperlihatkan bahwa tidak ada hirarkhi atau tingkatan kepercayaan. Tetapi tete nene moyang dipahami sebagai Allah yang mengkontekstulisasikan diri-Nya sedemikian rupa agar menjadi dekat dengan manusia. Pemahaman demikian, tentu bukan tanpa konsekuensi. Sebab kecenderungan ini, mengantarkan kita pada pertanyaan yang paling mendasar dalam kekristenan kita, yaitu bagaimana memposisikan Yesus sebagai inkarnasi Allah satu-satunya dengan tete nene moyang yang dipahami secara kontekstual sebagai perwujudan Allah bagi orang Hulaliu secara khusus? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut akan diuraikan dalam tiga tahapan perkembangan sebagai upaya pertautan kontekstual dengan tetap mengacu pada sikap netral dan menaruh rasa hormat terhadap iman kristen dan budaya. Tahap pertama, Yesus sama dengan (Y=) tete nene moyang bagi orang Hulaliu. Dalam tahapan kemungkinan Yesus menjadi sama dengan tete nene moyang. Hal mana menunjuk pada cara Allah mengkontekstualisasikan diri-Nya pada ruang dan waktu yang khusus (partikular). Artinya bahwa penyataan Allah tidaklah dimengerti secara universal, atau sama untuk semua waktu dan tempat. Hal inipun nampak dalam rumusan Tata Gereja-Gereja Protestan Maluku (TG-GPM) tahun 2010 , dimana tertuang pengakuan bahwa karya Allah itu berlangsung secara simultan, dan bukan berkesinambungan. Pengakuan ini mengindikasikan bahwa pengakuan GPM terhadap karya Allah yang juga berlangsung bagi orang Maluku sebelum mereka mengenal injil yang dibawa oleh para misionaris. Simultan berarti karya Allah secara serentak terjadi dimana-mana, Allah berkarya di Israel, di Eropa bahkan di Maluku secara bersamaan. Bukan dalam pemahaman yang berkesinambungan artinya Allah lebih dulu berkarya bagi orang Israel, kemudian Eropa lalu Maluku. Pengakuan ini berarti sebelum orang Hulaliu (Maluku pada umumnya) mengenal penyataan Allah dalam Yesus, mereka telah lebih dulu memahaminya lewat tete nene moyang mereka. Dalam hemat penulis kenyataan sinkretis adalah upaya orang Hulaliu yang memposisikan kuatnya pengaruh injil dan adat yang secara serempak dan bersamaan mempengaruhi dan mewarnai kehidupan kristiani mereka. Pada tahapan ini, kita benar-benar sadar bahwa Yesus menjadi sama dengan (Y=) tete nene moyang orang Hulaliu. Tahap kedua, Yesus positif/lebih (Y+) dari tete nene moyang. Pada tahapan ini terjadi proses seleksi yang ketat dan kritis. Ungkapan adat yang telah diinjili, menurut hemat penulis adalah upaya kritis orang Hulaliu sendiri dalam menyeleksi peranan tete nene moyang bagi hidup mereka. Ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa tidak selama nilai-nilai adat itu membawa pada keselamatan, menghormati kemanusiaan termasuk memuliakan Tuhan. Orang Hulaliu secara sadar melakukan tranformasi injil kepada adat, tanpa kehilangan makna dan nilainya bagi hidup mereka. Upaya kritis ini mesti dilihat sebagai upaya untuk menemukan nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, relevan pada zaman kita sekarang dan yang paling penting adalah memuliakan Allah. Pada titik ini, Yesus menjadi inspirasi perubahan atau upaya tranformasi itu sendiri. Tete nene moyang yang mewariskan adat kepada generasinya hingga sekarang tidak selamanya baik dan relevan pada konteksnya. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa tete nene moyang adalah manusia yang lewatnya Allah mengkomunikasikan kasih dan rahmat-Nya. Upaya memahami kasih dan rahmat Allah itu, manusia dapat saja salah; ataupun kalau benar, sangat mungkin benar pada zamannya atau pada adat itu sendiri, tetapi seiring perkembangan zaman sikap kritis haruslah terus menerus dilakukan tanpa hentinya. Di sini, Yesus yang memperkenalkan nilai-nilai injili, patut menjadi inspirasi kekritisan bagi kekristenan. Injil adalah upaya untuk memanusiakan manusia dan tetap memuliakan Allah. Ia tidak terikat pada adat dan juga pada ruang ataupun waktu tertentu. Artinya perjumpaan Yesus dengan tete nene moyang, harus mampu membawa orang Hulaliu keluar dari hegemoni adat yang kaku Tahap ketiga, Yesus unggul (Yu) dari tete nene moyang. Pada tahapan ini Yesus jauh lebih unggul dari tete nene moyang. Hal mana yang dapat kita maklumi adalah peranan tete nene moyang sebagai pembentuk dan pewaris adat istiadat. Sebagai pewaris adat, tete nene moyang adalah cara Allah menyatakan kehendak-Nya. Damamain mengusulkan tete nene moyang dapat dibandingkan dengan Musa sebagai penerima torat untuk orang Israel. Jadi tete nene moyang bisa membentuk dan mewariskan adat karena mereka mendapat ilham bathiniah dari Upu Lanit’e. Hal di atas berbeda dengan Yesus, yang lewat-Nya, Allah benar-benar masuk ke dalam dunia dan mengambil rupa seperti manusia. Yesus adalah Allah sendiri. Kehadiran Yesus memberi transformasi positif bagi nilai-nilai yang diwariskan oleh budaya ke-Yahudi-an secara turun temurun. Yesus tentu tidak melarang adat, tetapi Yesus mentransformasi adat istiadat itu sendiri. Simon Schoon menulis Yesus tetap menjaga kesinambungan pengajaran-Nya yang sudah dinyatakan Allah dalam budaya dan adat istiadat Yahudi. Yesus justru paling suka menyampaikan pesan-pesan yang Ia ajarkan dalam kerangka berpikir yang dikenal oleh kaum keturunan-Nya, bangsa Israel . Yesus sendiri tidak datang untuk meniadakan Hukum Taurat, adat istiadat, dan budaya orang Yahudi, Ia justru hendak menggenapinya (Mat.5:7). Yesus menawarkan injil yang membebaskan manusia dari kekakuan adatis yang cenderung mejadikan manusia hidup dalam ketakutan. Menjalankan adat secara ketat dan kaku, turut menimbulkan konflik bathin yang juga luar biasa pada manusia itu sendiri. Konflik batin yang dimaksudkan adalah adanya rasa ketakutan yang besar jika orang Hulaliu hidup di luar atau tidak menjalankan adat sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku. Seakan-akan ia hidup dalam bahaya besar, hidup seakan menjadi bayang-bayang maut. Disini Yesus lebih unggul, Ia tidak mau manusia hidup dalam ketakutan atau situasi yang mengancam kemanusiaannya. Yesus tentu akan mentransformasi adat itu, jika Ia hidup pada zaman kita. Sebab itu yang Ia lakukan pada zaman-Nya. melalui Yesus kita akan memahami Allah secara baru. Ia bukan saja Allah yang sanggup menunjukan garang dan penuh murka, melainkan juga Allah yang penuh kasih, pemurah, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Ia pun tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita (Mzm. 103). Proses transformasi terhadap adat yang diwariskan oleh tete nene moyang harus terus menerus dipikirkan ulang dan menyaksikan Allah secara baru dan benar bagi manusia, khusus orang Hulaliu. Inilah injil yang diperkenalkan oleh Yesus. Pada titik ini, Yesus lebih unggul atau di atas tete nene moyang.   Jika kita menggambarkan tiga tahapan kontekstualisasi tersebut dalam suatu sketsa, maka prosesnya akan terlihat demikian: Gambar: Tahapan Kontekstualisasi Yesus dan Tenemo Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa teologi kontekstual harus bergerak dari tahap Y= (sikap apa adanya) ke tahap Y+ (sikap yang kritis), dan kemudian harus terus menanjak ke tahap Yu (sikap yang transformatif). Jika suatu teologi kontekstual merasa puas dari sikap apa adanya (Y=) dan sikap kritis (Y+), lalu berhenti, maka teologi semacam itu kelak menjadi tidak kontekstual (relevan) lagi. Karenanya upaya itu, harus terus bergerak pada sikap yang lebih transformatif, sehingga teologi benar-benar menjadi transformatif dengan terus menerus memikirkan ulang Yesus secara baru dalam konteks yang lebih dinamis dan terbuka dari waktu ke waktu. Ancestor Relationship Persoalan pokok yang hendak dikedepankan selanjutnya adalah bagaimana menjelaskan pola relasi orang-orang Hulaliu yang masih hidup dengan tete nene moyang? pengajuan pertanyaan ini penting sekali, sebab agak sulit melepaskan pengaruh tete nene moyang dalam keseharian hidup warga jemaat. Disebut orang Hulaliu adalah mereka yang masih hidup maupun mereka yang telah meninggal (baca: tete nene moyang). Melepaskan orang yang telah meninggal atau tete nene moyang dari keseharian hidup orang Hulaliu adalah hal yang tidak pernah berhasil atau sia-sia. Memang agak sulit meletakan tete nene moyang sebagai sumber berkat dan kekuatan bagi orang Hulaliu, sebab di atas mereka ada Allah atau Upu Lanit’o yang adalah sumber dari segalanya. Karena itu, yang hendak ditekankan adalah ide tete nene moyang sebagai manusia. Sebagai manusia, tete nene moyang harus diakui sebagai generasi pertama manusia yang menetapkan dan melaksanakan suatu tata aturan adat untuk pertama kalinya. Itu berarti semua perangkat aturan dan sistem adat yang mereka cetuskan dan prakatekkan pada masanya adalah berkat Tuhan pada masyarakat secara keseluruhan. Tete nene moyang bukan Allah untuk disembah, namun mereka adalah manusia Maluku yang pertama meletakan sistem adat tersebut. Dalam kedudukannya sebagai manusia pertama, maka sangat tidak mungkin kalau tete-nene moyang itu disembah, karena sumber dari semua yang mereka letakan tersebut adalah dari Allah. Damamain menekankan bahwa dalam mitos-mitos orang Maluku, sangat kurang tete nene moyang diasalkan pada dunia dewa-dewa. Dapat dikatakan bahwa penghargaan kepada tete nene moyang tidak didasari atas konsep manusia Maluku adalah keturuann dewa dan karena setelah meninggal dunia, kembali menjadi dewa. Pengharagan itu hanya didasarkan atas pengalaman, bahwa tete nene moyang yang sudah meninggal dalam mempengaruhi hidup anak-anak cucu mereka. Dalam hematan penulis, relasi orang Hulaliu yang terbangun dengan tete nene moyang mereka bukanlah relasi kepercayaan, melainkan relasai penghormatan atau penghargaan. Relasi ini sekaligus menginterupsi pemahaman yang keliru orang Maluku yang cenderung berpikir dualisme dalam sistem kepercayaan, yaitu percaya kepada Allah, pada satu sisi dan percaya pada tete nene moyang, pada sisi yang lain. Yang adalah harmonisasi hidup yang menampilkan perpaduan adat dan injil menuju kepada sumber “kekuatan tertinggi” itu. Perilaku demikian yang melahirkan stigma “kristen kue lapis” (semacam lapisan sistem kepercayaan yang nampak dalam perilaku beragama) atau apa yang disebut Hendrik Kreamer sebagai “agama Ambon”. Menurut penulis penilaian demikian adalah keliru, ini bukan “kristen kue lapis” atau “agama ambon”, tetapi harmonisasi kekristenan yang khas Maluku. Tipikal kekristenan yang tetap mengakui Yesus secara universal, tetapi sekaligus menghargai partikularisme lokal sebagai cara “mengada” Allah yang kontekstual. Inilah yang dimaksudkan dengan “kristen kultural”, dimana adat dan injil berjalan bersama dan saling mempengaruhi hidup orang Hulaliu sebagai sebuah harmonisasi hidup dengan tetap menghargai kekristenan dan identitas sebagai orang Hulaliu. Penjelajahan di atas membawa kita pada satu penegasan bahwa hubungan orang Hulaliu dan tete nene moyang mereka harus dimaknai sebagai ancestor relationship (hubungan keleluhuran) dan bukan ancestor theology (hubungan kepercayaan). Penegasan ini sekaligus menginterupsi sikap “kecemburuan misiologis” gereja yang seringkali melancarkan “metode main larang” terhadap tete nene moyang. Gereja sudah mesti mandasarkan metode pekabaran injil pada dasar atau fondasi tete nene moyang, sehingga harmonisasi injil dan adat terjadi sebagai pertautan yang sanggup membawa warga jemaat memaknai dan mengungkapkan kekristenannya dalam realitas hidupnya yang rill. Penutup Demikian sealakadarnya beberapa pikiran sederhana ini, dapatlah kiranya memperkaya gagasan-gagasan mengenai bagaimana mengaku Allah secara kontekstual di Maluku. Laus Deo !!!

Biografi Gusmon Sahureka

Pendeta Agusno Soleman Sahureka yang lahir di Hulaliu 02 November 1981 lebih dikenal dengan nama julukan Gusmon. Anak bungsu dari 9 bersaudara pasangan Soleman Sahureka dan Paulina Noya. Beliau saat kecil merasakan damainya kehidupan kekeluargaan negeri Hulaliu. Bersekolah hingga tamat pada SD Negeri 2 Hulaliu. Setelah lulus SD beliau melanjutkan studi pada SMP Negeri Hulaliu dan sering ke sekolah dengan sepeda BMX sebab Sekolah Menengah Pertama yang letaknya di Nae ujung negeri Hulaliu, sehingga sering disebut SMP Nae. Tamat SMP tahun 1997 beliau melanjutkan ke SMU Negeri 3 di Ambon, tahun 1999 pecah konflik Ambon beliau berada pada kelas II, konflik menyebabkan beliau harus pindah dari Poka ke Waiheru hinggah konflik di Waiheru beliau pindah lagi ke Halong. Konflik semakin memanas sehingga tidak dapat lagi bersekolah dengan aman dan akhirnya beliau memilih pulang ke Hulaliu tempat kelahiranya. Saat di kampung beliau tidak mau terlambat materi pelajaran sehingga beliau memilih ke Saparua dan menjadi siswa titipan pada SMU Negeri 1 Saparua dan sekaligus menjadi siswa titipan pertama asal negeri Hulaliu. Konflik mulai reda maka beliau kembali melanjutkan pendidikan di SMU negeri 3 hingga lulus pada tahun 2000. Tahun 2000 beliau merencakan melanjutkan studi ke Fakultas Filasafat UKIM namun Ambon bergejolak lagi maka dengan penuh kasih sayang ibunya menghimbau agar menunda untuk tidak berkuliah ditahun itu karena UKIM juga telah terbakar. Tidak berkulliah maka beliau menganggur dan menghabiskan waktu dengan belajar bahasa Hulaliu, Belajar Budaya dan Sejarah Hulaliu dan juga berdagang cengkih yang saat itu sangat mahal, serta merangkul teman teman sebayanya untuk berbagai kegiatan. Tahun 2001 beliau mendaftar di fakultas Filsaat UKIM hingga lulus tahun 2008 dengan menyandang gelar Sarjana Sains. Setelah tamat kuliah pria yang tidak pernah melepaskan dialeg Hulaliu ini menghabiskan waktunya dengan merangkul anak-anak Hulaliu yang ada di kota Ambon melalui wadah IPPHAR yang diketuai oleh kakaknya, maupun pertemuan-pertemuan lainnya, sehingga wadah IPPHAR sangat diminati oleh anak-anak Hulaliu yang lahir di Hulaliu maupun anak-anak Hulaliu yang jarang pulang ke Hulaliu. Usaha yang dilakukan demi merangkul anak-anak dan pengumpulan dana seperti Menyablon, Membuat Abon, bahkan pernah membuat Album 100% karya Anak Hulaliu. Beliau menunjukan kecintaannya pada negeri Hulaliu dengan membuat www.ahaone,blogspot.com, Group FB HULALIU SEDUNIA, Group FB HULALIU UPDATE semua ia lakukan untuk mempubilkasikan Hulaliu di mata dunia yang saat itu sedang membangun Gereja baru karena tugasnya untuk mempublikasikan dan mendokumentasikan seluruh proses pembangunan gereja Hulaliu. Tahun 2011 beliau mengakhiri masa pengganggurannya karena mendaftar Vicaris dan bertugas di jemaat GPM Haruku-Sameth Klasis Pulau-pulau Lease. Selama satu tahun di Haruku Beliau tetap berkomunikasi membina hubungan dan memposting perkembangan pembangunan gereja Hulaliu. Hingga akhirnya 16 Desember 2012 Beliau di tahbiskan menjadi pendeta GPM pada Mei 2013 sesuai SK maka beliau ditugaskan di Jemaat GPM Hiay menggantikan Pdt Z . Walun, S.Si. Di bawah kepemimpinannya yang santai dan bersahaja, Hiay mengalami beberapa perubahan dalam penataan pelayanan serta mampu memotivasi pemuda-pemudi. Selama 2 tahun melajang maka pada 1 Agustus 2015 sebagai bukti cintanya pada gadis Hulaliu beliau menikahi Ince Seska Siahaya, S.Pd, M.Pd yang telah 6 tahun menjalin hubungan pacaran. Hingga sekarang mereka tinggal bahagia dan melayani di jemaat GPM Hiay Klasis Wetar di Maluku Barat Daya. (Ambon 1 Agustus 2015)

Kemegahan Terakhir